Kamis, 03 November 2011

[One-shot] I Am Here and Still With You (YoonHae)




Genre : One-shot, Romance
Rating : PG-15
Word Counts : 2,254
Note : Aish, sebenarnya aku tidak begitu bisa membuat cerita fanfic yang benar-benar fanfic. Kurasa itu adalah kelemahanku, kkk. Kebetulan saja, kemarin ada lomba fanfic dan aku mengirimkan ff ini. Jadi ceritanya mau aku publish setelah pengumuman, tapi mungkin sebaiknya sekarang saja. Hhhaa. Karena aku sendiri tidak mempunyai kepercayaan diri untuk menang, beruntung aku mempunyai blog untuk mempublikasikan semua tulisan-tulisanku yang terkadang jalan ceritanya sesuka hati. Hhhaa. Yeah, banyak hal yang bisa terjadi dalam ff. kkk
Happy Reading All!!!
I’m here and still with you
Yoona x Donghae
Selalu ku ingin tahu kenapa saat melukis harus menggunakan tangan, meskipun tanpa tangan kurasa aku masih bisa melakukankannya dengan alat gerak yang lain. Warna dari cat yang sudah ada pun harus dicampurkan lagi agar menciptakan warna yang baru. Saat melukis juga  harus menentukan objek apa yang harus digambar, kalau tak ingin lukisan itu gagal kenapa tidak biarkan saja canvasnya tetap berwarna putih dan perkara selesai. Tidak perlu aku membersihkan celemek juga tanganku yang terkena bercak noda karena cipratan catnya.
Duduk aku termenung sambil menerawang menatap ke luar melalui jendela yang daunnya terbuka lebar, melihat sisa rintikan air hujan yang baru reda. Bunyinya yang seperti detik jarum di jam dinding, “Tik, tik, tik . . .” Hati kecilku mengikuti suaranya yang sedikit berisik. Teman-teman sekelas pun masih sibuk dengan lukisan mereka, dosen pengajar hanya memperhatikan dari mejanya. Ruang seni terlihat semakin membosan karena masing-masing dari mereka terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri.
Aku sudah berusaha untuk menuju arah lain, tapi tetap perhentian dari tiap langkah yang kubuat adalah istana cintanya yang tak megah namun membuatku betah.
27 September 2009 dua tahun lalu, hari terakhir dia menggendongku pulang ke rumah. Di antara keheningan petang, matahari pun perlahan tenggelam. Tampak cahayanya yang kelam terpantul di atas luasnya laut terbentang. Bayangan hitam pun terus mengikuti langkah kami dari belakang. Seakan siap mencerkam, bayangan itu pun terus mengintai.
“Tunggu aku tapi jangan rindukan diriku.” Pinta Donghae dengan suaranya yang sengau.
“Kalau aku menunggumu, pasti karena aku merindukanmu Donghae Oppa. Kalau tidak, kenapa aku harus menunggumu?” Aku yang saat itu bingung pun lekas bertanya.
“Karena kalau kau merindukanku, kau pasti akan memberi petanda dengan selalu hadir dalam mimpiku. Itu sungguh membuatku tidak tenang, dan konsentrasiku saat menjalani kewajiban militer pun akan hilang.” Tegasnya. “Kau juga hanya boleh mengunjungiku setiap 6 bulan sekali.”
“Ah, mana boleh begitu?” Gumamku, “Bagaimana kalau satu bulan sekali, atau dua bulan sekali.” Tawarku.
“Kalau kau keseringan mengunjungiku, kemungkinan waktu wajib militerku akan diperpanjang. Kau paham?” Jelasnya.
“Ah, benar juga.”
Aku pun lekas mengencangkan lenganku yang mendekap kedua bahunya untuk berpegangan agar tak terjatuh dari punggungnya yang masih kuat menahan berat tubuhku. “Aku pasti akan sangat merindukanmu. Oppa!” Bisikku di telinganya.
Secuil senyum pun merekah dari bibirnya. “Sudah kukatakan agar jangan merindukanku.” Pintanya lagi.
Langkahnya pun terhenti tepat di depan pagar rumahku, Aku lekas melompat pelan turun dari punggungnya. “Tidak ada lagi Oppa yang selalu menemaniku bermain, lalu menggendongku saat pulang. Tentu saja,  aku pasti akan merindukanmu!” Desahku.
Diacak-acaknya segera rambutku gemas, lalu kembali merekahkan senyum simpul untuk menenangkanku. “Baiklah kau boleh merindukanku, tapi nanti saat aku sudah kembali.”
Kudenguskan nafasku kasar, wajah pun kutekuk cemberut mendengar perkataannya yang dari tadi terus saja membuatku kesal. “Baiklah, aku tidak akan merindukanmu. Sedikit pun aku tidak akan merindukanmu!” Pekikku dengan nada tinggi.
Bibir yang tadi tersenyum pun sirna berganti dengan tawa lepas, pipinya terangkat dan matanya menyipit. Tak tergambar kesedihan di raut wajah itu, hanya keceriaan meskipun dia tahu bahwa hari esok sudah bukan untuk kami lagi. Aku tahu saat itu dia tengah berpura-pura agar aku percaya bahwa dia baik-baik saja. “Cukup tunggu aku dua tahun, setelah itu kau boleh merindukanku setiap hari.”
Ku gigit gigiku menggeram, “Dua tahun!!”
“Ne, dua tahun.” Sahutnya sendu dan masih dengan tatapan matanya yang sayu. Lalu di cengkramnya bahu kananku kemudian di tariknya tubuhku agar terbenam dalam pelukannya yang hangat. Dekapannya pun semakin erat membekapku, membuatku sesak dan sedikit sulit untuk bernafas.
Tepat di saat aku akan kehabisan oksigen, dan rongga dadaku seakan terhimpit. Bibirnya yang basah dan lembab pun mengecup pelan bibir mungilku. Dapat kurasakan tiap hembusan nafas yang keluar dari hidungnya, “Aku mencintaimu, Im Yoona!” Kalimat itu diucapkan sebelum akhirnya Ia lenyap dari pandangan mataku dan bayangannya pun tak terlihat lagi namun bekas bibirnya yang tadi menempel sejenak masih bisa kurasakan. Beberapa kali ku mengerjapkan mata, sulit untuk percaya bahwa orang itu akan meninggalkanku meskipun tidak untuk selamanya tapi tetap saja kehampaan akan kurasa.
♥♥♥
Seperti janjiku, aku tidak merindukannya namun selalu memikirkannya. Selalu ku ingin tahu apa yang sedang dan tengah dilakukannya di balik pagar pembatas yang tinggi itu. Selalu ku ingin tahu apa yang dikerjakannya di akademi kemiliteran, apa orang-orang itu memperlakukannya dengan keras, apa mungkin orang-orang itu menghukumnya saat dia melakukan kesalahan. Kecemasan pun selalu bersinggah di hati yang tengah dilanda kekalutan ini.
Waktu luang di sela tugas menumpuk dari kampus pun kumanfaatkan dengan mengingat wajahnya lalu menuangkannya ke dalam sebuah lukisan. Meskipun sudah puluhan kuas hancur dan patah, tetap saja tak bisa ku mengobati kerinduan ini.
Ku tatap langit biru yang cerah dan kicaun burung yang tengah terbang tampak seperti sedang menertawakanku. “Apa salah jika aku ingin bertemu dengannya? Apa salah aku merindukan kekasihku sendiri? Apa salah aku mengkhawatirkan keadaannya?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menghujani pikiranku. Kulepaskan kuas dari genggaman lalu menggelindinglah benda itu di atas meja. Teman-teman pun menatap heran padaku, mereka tercengang melihatku yang bergegas keluar dari ruang kelas tanpa meminta ijin pada dosen yang tengah mengajar.
Sungguh enam bulan pertama yang sangat berat harus kulalui dengan hati lapang, aku harus bersabar dan meneguhkan pendirianku. Sambil membawa rantang berisi nasi bersama dengan lauk pauk juga sup, aku pun memberanikan diri seorang diri untuk menjenguknya di asrama kemiliteran.
Beberapa pasang mata pun melirik ke arahku yang tengah mengenakan gaun putih bermotif bunga, persis seperti suasana hatiku yang tengah dihinggapi suka karena sebentar lagi bertemu dengan sang pujaan tercinta.
Tikar pun digelar di atas tanah lapang yang gundul, rerumputannya mengering di musim panas lalu berserakan saat tertiup angin. Duduk kami berduaan disanasambil memandang lurus pegunungan yang nan jauh disana.
“Oppa!!” Panggilku ragu. “Bagaimana kabarmu?” Seperti dua orang asing yang tak saling mengenal kami pun coba berbincang. Rasa canggung pun bersinggah, rasa terkejut pun coba kusembunyikan saat mendapati Donghae yang dulu berwajah bak malaikat di pagi hari dengan rambutnya yang panjang sekarang sudah tak ada lagi. Rambutnya yang hitam pekat dan lurus itu telah dipotong bersih hingga tipis dan hampir botak
Segera digigitnya Bibimpap yang kubawakan lalu mengunyahnya perlahan, “Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.” Ia meringis tersenyum padaku. “Apa menurutmu aku masih tampan dengangayarambut seperti ini?” Tanyanya yang tengah duduk bersila.
Aku pun mengangguk cepat untuk mengiyakan, padahal sebenarnya aku benar-benar tidak menyukai perubahan itu. Kulitnya yang dulu kuning langsat pun, sedikit demi sedikit berubah kecoklatan. “Oppa, selalu terlihat tampan.” Aku bergeming.
“Wah! Benarkah? Aku pikir kau tidak akan suka, karena kau paling benci melihat pria botak iyakan?” Tukasnya.
“Oh, tentu saja tidak. Kalau pria botak itu adalah Donghae Oppa. Aku pasti akan suka.” Sahutku segera berdalih.
“Ah, wajahmu itu sama sekali tidak mencerminkan ketulusan saat mengatakannya.” Ia menatapku curiga.
“Oppa. Apa maksudmu?” Aku pun berpura-pura merajuk. “Baiklah, kalau oppa tidak percaya aku pulang saja.” Segera ku berkemas membereskan rantang.
Ia kembali tertawa,  tertawa persis seperti terakhir kali kami bertemu sebelum dia berangkat untuk wajib militer.
Obrolan singkat antara kami berdua pun berakhir seiring waktu berkunjung yang telah habis. Aku hanya bisa melambaikan tanganku melihatnya yang harus kembali ke dalam asrama yang seperti penjara itu.
Beberapa bulan waktu kembali berlalu, tepat setiap enam bulan sekali aku melepas rindu dengan menemuinya disana lalu bercengkrama barang sejenak sambil menikmati angin sore yang sejuk. Tatapan matanya yang sayu namun meneduhkan itu selalu terlihat sama, tak ada yang berubah dia masih Donghae yang kucinta.
♥♥♥
Terlelap aku dibuai angin yang berhembus kencang, menembus melalui celah-celah jendela, terbenam aku dalam kehangatan selimut dan di atas kasur empuk yang nyaman. Kudengar suara hujan yang begitu deras di luarsana, namun tak kuhiraukan. Aku tetap saja terlena dalam mimpi di tidurku yang nyenyak.
Disana, di alam bawah sadarku yang lain. Aku melihat Donghae yang tengah menatap canvas putih tak ternoda. Wajahnya suram, dan dia tampak murung dengan wajah ditekuk cemberut.
Kudekati dia perlahan lalu kupegangi pundaknya, “Oppa!! Kau baik-baik saja ‘kan?”
Tak ada sahutan dari mulutnya yang tertutup rapat, lidahnya seakan sulit untuk berkecap.
“Oppa!” Panggilku lagi.
“Kelak jangan pernah mengharapku untuk kembali padamu lagi, karena aku telah hilang dan akan menghilang.” Desahnya.
“Apa maksudmu?”
Perlahan sosoknya pun lenyap digantinkan oleh bayangan putih yang membuatku terkejut bangun. Kepalaku terasa berat, begitu juga mataku. Segera ku lihat jam dinding dan waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Masih ada waktu sebelum pergi menjenguk Donghae.
Hari itu tepat enam bulan sebelum hari kepulangannya, aku pun kembali bergegas seperti biasa membuatkan Bibimbap, lalu memasakan semua makanan dengan bumbu pedas sesuai seleranya.
Televisi kunyalakan untuk menemaniku bersiap, namun tak kugubris warta berita yang tengah disiarkan. Tampak seorang reporter wanita yang sedang meliput sebuah tempat yang baru saja terkena bencana.
Selesai mengikat tali sepatu kets lalu menggantung tas slempang di bahu, aku pun segera keluar dari rumah susun itu sambil membawa rantang berisi penuh makanan. Senyumku kali ini lebih mengembang dan sumringah karena sebentar lagi Donghae Oppa akan selesai menjalani kewajibannya sebagai warga negara.
♥♥♥
Tak percaya aku dengan apa yang terlihat, tampak keributan di sepanjang jalan menuju pegunungan dimana asrama itu berada. Aku pun terperangah mendapati beberapa tenda di pasang di sekitar halamannya, para perawat dan dokter pun tampak begitu disibukkan oleh para pasien yang terus berdatangan.
Rantang yang tadi kubawa pun terhempas ke tanah lalu berhamburanlah isinya. Aku kebingungan dan terus bertanya dalam hati tentang apa yang terjadi. Pikiranku sekarang adalah seperti apa keadaan Donghae-ku. Aku segera berlari mencarinya di antara orang-orang yang berjalan tergopoh-gopoh karena luka di kaki mereka. Beberapa diantaranya juga menggunakan tongkat agar dapat terus melangkah.
Aku begitu panik dan mulutku tak dapat berkutik, “Donghae Oppa!!” Teriakku lantang setelah berhasil mengumpulkan kekuatan.
Berdiri aku di belakang seorang reporter yang tadi kulihat di televisi, aku masih tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Rasa takut, cemas dan khawatir berkecamuk di dadaku, sulit rasanya untuk bernafas. Aku pun lekas berlari memasuk kawasan asrama, lalu berlari lagi di koridor yang tak berujung.
Terhenti aku di salah satu ruangan, di mana terdapat slang impus tengah menjulur ke bawah mengalirkan cairan zat anti bodi. Air mata yang tadi terbendung pun tumpah saat kudapati Donghae tengah berbaring di salah satu ranjang, wajahnya yang tampan dipenuhi luka memar. Ia belum sadarkan diri dan masih tak mengetahui keberadaanku yang duduk di kursi menemaninya.
“Sebelah kakinya terpaksa diamputasi karena terkena pohon tumbang waktu itu.” Salah satu dokter yang tengah menangani segera memberitahukan hal itu padaku.
“Benar, kalau kakinya tidak dipotong, dia pasti mati di tempat saat itu juga.” Sahut dokter lainnya lagi.
Aku pun semakin terisak mengetahui hal itu, aku tidak ingin dia tahu apa yang telah menimpanya. Habis kataku untuk berucap, hanya deraian air mata yang bisa mengungkapkannya.
♥♥♥
Tegar, Aku harus tegar! Aku harus menemaninya di saat sulit seperti itu. Kukepalkan tangan lalu melangkah mantap di koridor rumah sakit, dimana Donghae dipindahkan dan dirawat disana. Aku pun berpapasan dengan berberapa perawat yang berlalu-lalang, senyumku yang tadi merekah perlahan sirna.
Tak kutemukan Donghae di kamar inapnya, hanya sepucuksuratsalam perpisahan yang ditinggalkannya sebagai tanda bahwa Ia sudah tak lagi disana. “Kelak jangan pernah mengharapku untuk kembali padamu lagi, karena aku telah hilang dan akan menghilang.” Kata-kata ini persis seperti yang dikatakannya dalam mimpiku waktu itu. Aku pun bungkam barang sejenak, lalu berlari keluar untuk mencari keberadaannya. Berlari ku ke taman rumah sakit, lalu beralih lagi ke halaman depan.
Asa ku pun putus, air mataku kering menangisi kepergiaannya. Sampai akhirnya aku terdampar dipadangilalang yang biasanya kami kunjungi.KutemukanIayang duduk seorang diri di atas batu besar sambil menatap laut dan tampak disampingnya tongkat tergeletak.
“Oppa!” Panggilku segera. “Kenapa tiba-tiba saja kau pergi?” Nafasku tersengal-sengal.
“Bukankah, aku sudah katakan padamu agar jangan mengharapku kembali lagi.” Bentaknya dengan nada tinggi membuatku tersentak.
Lekas kupeluk ia dari belakang, kulingkarkan kedua lenganku di bahunya. “Oppa, kau tidak boleh bicara seperti itu.” Tangis menjadi melodi dari tiap kata yang terurai dari mulutku. “Biarkan aku menemanimu.”
“Aku tak bisa kembali padamu. Apa kau tidak lihat sekarang kakiku pincang.” Bentaknya lagi sembari memperlihatkan kaki kanannya yang telah hilang. “Aku tak bisa lagi berlarian mengejarmu seperti waktu itu, atau pun menggendongmu pulang ke rumah.” Air matanya pun juga tumpah dan nada bicaranya semakin tinggi.
Nafas kutarik dalam-dalam, aku pun berusaha tenang. “Kalau memang kau tidak bisa kembali padaku, biarkan aku yang datang kepadamu. Kalau memang kau tidak bisa mengejarku, biarkan aku tetap diam di tempat dimana aku berpijak sekarang. Aku ingin selalu bersama Donghae Oppa, tak peduli seperti apapun keadaanmu.”
“Yoona! Sebaiknya kau cari saja orang lain yang jauh lebih baik dibandingkan aku.” Donghae terus saja bersikeras memintaku untuk meninggalkannya.
“Tapi, orang yang kucintai itu adalah kau Oppa! Orang yang kuinginkan untuk hidup mendampingiku itu adalah adalah kau. Tidak bisakah kau sekali saja mengerti, bahwa kucintai kau apa adanya.”
“Yoona!”
Tak kupedulikan dia yang beberapa kali coba menjauhkanku dan melepaskan dekapanku. Kupejamkan mata lalu mengencangkan lagi lenganku yang melingkar di bahunya. “Aku mencintaimu, oppa!” Bisikku. Kalimat itu pun mampu meluluhkan hati dan menggoyahkan pendiriannya, dia tak berdaya dan pasrah saja. Membiarkanku untuk terus memeluknya dari belakang.
Flashback end
Hujan yang tadi menguyur kota pun berhenti seketika, tampak sosoknya yang melangkah pelan di koridor kampus. Segera ku keluar dari ruang seni untuk menemuinya, tampak disana lelakiku, Lee Donghae yang berjalan menggunakan kaki palsu.
“Oppa!!” Panggilku segera, segera ku raih lengannya, lalu kugandeng Ia melewati lorong koridor yang sepi itu.
Senyum yang dulu sempat redup itu kembali bersinar, sungguh sebuah senyuman yang menenangkan batinku.
“Kau mau makan dimana hari ini?”
“Dimana saja.”
Tak peduli seperti apa dirimu sekarang, yang terpenting kau masih bisa bernafas dengan damai disampingku persis seperti dua tahun lalu sebelum musibah itu menimpamu. Kelak jika suatu saat kau merasa dunia kembali mempermainkanmu, ingatlah selalu akan ada aku di sini denganmu, Oppa. Kurengkuh tangannya erat seraya membantunya untuk terus berjalan.


Sumber : http://hanraena.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar